DROPPIISHOPS.COM – Bulan purnama memiliki kisah tersendiri. Dalam catatan sejarah, berbagai bencana dan letusan gunung dilaporkan terjadi setelah bulan purnama muncul. Raden Saleh pun menggambarkan hal ini dalam karyanya tahun 1865 yang menggambarkan Gunung Merapi meletus di malam hari.
Sejak zaman nenek moyang, terdapat tradisi khusus ketika bulan purnama tiba, di mana mereka berkumpul dengan anak-anak dan mengajak mereka bermain di bawah sinar bulan yang cerah. Usai bermain, anak-anak dan keluarga biasanya tidur bersama agar jika terjadi sesuatu, mereka bisa dengan mudah melindungi diri dan anak-anaknya. Tradisi inilah yang menjadi cerita setiap purnama, di mana banyak yang percaya akan adanya bencana.
Namun, benarkah bulan purnama memiliki pengaruh terhadap Gunung Merapi yang menyebabkan erupsi?
1. Pengaruh gravitasi bulan terhadap proses erupsi Merapi
Menurut penjelasan ilmiah yang diungkapkan oleh Dr. Ratdomopurbo dalam buku Melacak Mitos Merapi: Peka Membaca Bencana, Kritis terhadap Kearifan Lokal karya Ibnu Subiyanto, ketika bulan purnama, gaya gravitasi bulan cukup kuat untuk membuat permukaan bumi sedikit membengkak, meskipun perubahannya hanya dalam ukuran centimeter. Perubahan ini mungkin tidak terasa di wilayah dataran rendah, tetapi dampaknya lebih jelas di puncak Merapi.
Di puncak gunung, gravitasi bulan menyebabkan retakan pada batuan, yang mengakibatkan melemahnya ikatan antar batuan yang berfungsi menutupi kolom magma. Ketika tekanan dari dalam bumi semakin kuat, ini bisa memicu erupsi yang menghancurkan kubah lava. Jika tekanannya tidak terlalu besar, retakan tersebut bisa menjadi jalur bagi magma keluar sehingga terjadi erupsi lelehan.
2. Bulan purnama sebagai tanda adanya bencana
Walaupun telah dijelaskan bahwa gravitasi bulan dapat mempengaruhi proses erupsi Merapi, itu bukan satu-satunya penyebabnya. Terdapat faktor lain yang juga menyebabkan terjadinya erupsi.
Namun, munculnya bulan purnama dapat menjadi tanda bagi masyarakat untuk waspada terhadap potensi bencana alam. Ini juga merupakan langkah untuk melindungi diri dan keluarga.
Belajar dari kearifan lokal membantu seseorang memahami pentingnya mengenali tanda-tanda alam, serta menggabungkan dengan pengetahuan ilmiah modern untuk menjaga keselamatan. Hal ini membuat masyarakat lebih sadar akan potensi bencana dan lebih siap menghadapi risiko yang mungkin muncul.
3. Bulan purnama dan makna Memayu Hayuning Bawana
Penampakan bumi saat bulan purnama muncul mencerminkan falsafah Jawa yang dikenal sebagai Memayu Hayuning Bawana, yang berarti memperindah dunia. Franz Magnis dalam bukunya Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, memaparkan perumpamaan bulan purnama sebagai sesuatu yang memberi cahaya sehingga menjadikan bumi lebih cerah dan indah. Begitu pula manusia, keberadaannya di dunia diharapkan dapat membawa kebaikan bagi diri sendiri, sesama, dan lingkungan. Bumi menjadi indah dan selamat di bawah sinar bulan saat purnama.
Dengan cahayanya yang cerah, manusia memiliki waktu untuk menikmati momen tersebut bersama keluarga di depan rumah. Setelah itu, mereka diberi kesempatan untuk bersiap-siap melindungi diri jika bencana datang. Memahami fenomena alam dan merespons pengetahuan kearifan lokal dengan bijaksana membuat hidup lebih tenang dan keselamatan dapat tercapai.
Bulan purnama sudah sejak lama dipandang sebagai sinyal terjadinya perubahan pada alam, termasuk potensi terjadinya erupsi di gunung Merapi. Kepercayaan ini tidak hanya sekadar legenda, melainkan juga mengajarkan kita tentang betapa pentingnya untuk tetap waspada dan siaga. Meskipun tidak ada kepastian kapan gunung itu akan meletus, kita tetap harus berkontribusi untuk menjaga keindahan lingkungan dengan melestarikan ekosistemnya, sehingga alam pun dapat memberikan tanda kepada manusia untuk melakukan persiapan keselamatan yang diperlukan.
Baca Juga : Ternyata di dunia ini terdapat fenomena yang disebut api abadi, dan berikut adalah penjelasannya