DROPPIISHOPS.COM – Musim kemarau telah tiba di Indonesia, namun turunnya hujan yang terus menerus di berbagai wilayah membuat masyarakat bertanya-tanya.

Langit mendung hampir setiap hari, gerimis yang datang tiba-tiba di tengah siang, hingga rintik hujan yang menghiasi malam, semua ini menjadi fenomena yang membingungkan di tengah musim kemarau yang biasanya diidentikkan dengan cuaca panas dan kering.

Saat ini, Indonesia sedang menghadapi fenomena unik yang dikenal sebagai kemarau basah, kondisi ketika musim kemarau tetap disertai hujan dengan intensitas yang cukup sering.

Fenomena ini mulai terasa sejak awal Mei, saat daerah-daerah yang seharusnya memasuki masa kering justru diguyur hujan deras. Bahkan, beberapa wilayah mencatat curah hujan yang tinggi hingga menyebabkan genangan air di persawahan, permukiman, dan fasilitas umum lainnya.

Lantas, musim apakah yang sebenarnya sedang berjalan? Mengapa hujan terus turun meski seharusnya telah memasuki musim kemarau?

Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), fenomena kemarau basah ini dipengaruhi oleh berbagai faktor atmosfer dan perubahan iklim yang mengubah pola cuaca di Indonesia. Deputi Bidang BMKG, Guswanto, menjelaskan bahwa kemarau basah adalah fenomena yang tidak biasa dan bisa terjadi akibat ketidakstabilan pola cuaca serta perubahan iklim global.

Di wilayah tropis seperti Indonesia, kemarau basah terbilang jarang terjadi, tetapi bukan sesuatu yang mustahil. Salah satu penyebab utama fenomena ini adalah peningkatan suhu permukaan laut di sekitar Indonesia, seperti Laut Jawa, Laut Banda, dan Samudera Hindia. Ketika suhu laut meningkat, penguapan juga meningkat yang akhirnya memicu terbentuknya awan-awan hujan meskipun secara kalender negara ini sedang memasuki musim kemarau.

Selain itu, fenomena kemarau basah sering kali dikaitkan dengan gangguan iklim global seperti La Nina atau perubahan dalam pola sirkulasi angin. Angin yang biasanya membawa udara kering dari Australia ke Indonesia bisa tergantikan oleh angin lembab dari Samudera Pasifik yang membawa hujan. Akibatnya, wilayah Indonesia terus menerus dilanda hujan dalam periode yang seharusnya kering.

Dampak fenomena ini cukup signifikan, terutama bagi sektor pertanian di daerah seperti Kediri dan sekitarnya. Petani biasanya memulai musim tanam palawija seperti jagung dan kedelai yang memerlukan tanah kering. Namun, kondisi tanah yang becek dan basah membuat proses tanam menjadi sulit, bahkan meningkatkan risiko tanaman membusuk akibat kelembapan berlebih.

Di kawasan perkotaan, masyarakat juga perlu waspada terhadap genangan air dan potensi meningkatnya penyakit tropis seperti demam berdarah, yang trennya cenderung naik seiring tingginya tingkat kelembapan.

Kemarau basah ini menjadi pengingat bahwa iklim dan cuaca tak lagi bisa diprediksi hanya berdasarkan pola lama atau kalender musiman semata. Perubahan iklim global telah memengaruhi dinamika cuaca menjadi lebih cepat berubah dan sering tidak sesuai ekspektasi. Dalam kondisi ini, kemampuan membaca perubahan alam dan memperhatikan prakiraan cuaca menjadi kunci untuk beradaptasi dengan situasi yang dinamis.

Meski terdengar berlawanan, kemarau basah bukanlah bencana melainkan sebuah tanda bahwa sistem iklim bumi sedang mengalami penyesuaian. Dalam kasus tertentu, fenomena ini bahkan dapat membawa manfaat misalnya untuk daerah yang biasanya kekurangan pasokan air. Namun, tanpa persiapan dan strategi adaptasi yang tepat, efek negatifnya bisa menjadi tantangan serius.

Oleh karena itu, masyarakat diimbau untuk tetap siaga dan tidak mengabaikan perubahan cuaca yang terjadi agar dapat menghadapi segala kemungkinan dengan lebih baik.

Baca Juga : Fenomena Aneh Namun Nyata: Salmon yang Dapat Bertransformasi Menjadi “Zombie”

Kiriman serupa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *